Selasa, 22 April 2008

Persatuan Wartawan Indonesia

Persatuan Wartawan Indonesia yang biasa disingkat PWI adalah salah satu organisasi wartawan yang ada di Indonesia.

Sebagai organisasi profesi, PWI didirikan pada 9 Februari 1946 di Solo. Munculnya PWI diwarnai aspirasi perjuangan para pejuang kemerdekaan, baik mereka yang ada di era 1908, 1928 maupun klimaksnya 1945.

Sebelum lahirnya PWI dibentuk sebuah panitia persiapan pada awal Januari 1946. Sebagai organisasi profesi, PWI menjadi wahana perjuangan bersama para wartawan.

Organisasi PWI lahir mendahului SPS (Serikat Penerbit Suratkabar). Aspirasi perjuangan kewartawanan Indonesia yang melahirkan PWI juga yang melahirkan SPS, empat bulan kemudian yakni pada Juni 1946.

Ketua PWI sekarang ini adalah Drs. Tarman Azzam.


Kulit Pisang Bisa Jadi Tepung Murah Bergizi

Oleh Edy M. Ya`kub

Surabaya (ANTARA News) - Kulit pisang kerap dibuang begitu saja di sembarang tempat. Jika dibuang sembarangan, maka kulit pisang bisa membuat orang tergelincir.

Namun, tiga mahasiswa biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya setelah melakukan serangkaian penelitian menemukan hasil bahwa kulit pisang tidak bisa dianggap remeh.

"Kulit pisang yang sering dianggap barang tak berharga itu, ternyata memiliki kandungan vitamin C, B, kalsium, protein, dan juga lemak yang cukup," kata Sulfahri, salah seorang dari tiga peneliti itu.

Melihat kandungan zat bermanfaat yang cukup tinggi itu, maka ia bersama dua rekan pun mencoba membuat penganan dari bahan kulit pisang itu.

"Semula, kami hanya memproduksi keripik kulit pisang, namun lama-kelamaan timbul ide untuk membuat tepung dari kulit pisang," katanya.

Mahasiswa angkatan 2007 itu mengatakan tepung pisang itu akhirnya digunakan sebagai bahan baku kue bolu. Meski berkali-kali gagal, namun akhirnya mereka menemukan formula yang pas untuk membuat bolu dari kulit pisang.

"Kalau dihitung lebih dari 50 kali, namun kami sekarang sudah puas dengan resep bolu yang kami miliki," katanya.

Kulit pisang yang cocok dibuat tepung adalah jenis pisang raja, karena kulit pisang raja lebih tebal dibandingkan jenis pisang lainnya.

Karya Sulfahri dan dua rekannya itu merupakan salah satu karya inovatif yang terpilih dalam penyaringan untuk "Biological Opus Fair" yang digelar di Plaza dr Angka ITS Surabaya pada 17 dan 18 April 2008.

Delapan produk inovatif yang dipamerkan adalah karya bertajuk "Pemanfaatan Kulit Buah Pisang Raja (musa paradisiaca sapientum) sebagai Bahan Dasar Pembuatan Kue Bolu" (karya Sulfahri dari Jurusan Biologi ITS Surabaya), dan "Water Electric Light Trap (WEL-T) sebagai Pengganti Pestisida dalam Upaya Peningatan Produksi Pangan yang Ramah Lingkungan" (karya Resti Afiandinie dari Jurusan Teknik Kimia ITS).

Karya lain adalah "Pendayagunaan Talok (Muntingia calabura Linn) sebagai Salah Satu Sumber Alternatif Baru dalam Dunia Pangan" (Fitri Linda Sari dari Universitas Muhammadiyah Malang), kemudian "Potensi Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) sebagai Alternatif Bahan Pangan (Upaya Menggali Potensi Pangan Lokal)" (Riana Dyah Suryaningrum dari Universitas Muhammadiyah Malang).

Disamping itu terdapat karya lain, seperti "Konversi Limbah Padat Menjadi Produk Ramah Lingkungan" (Sulistiono Ningsih dari Jurusan Biologi di Universitas Jember), "Pemanfaatan Mikroalga (Fitoplankton) sebagai Subtitusi Sumber Bahan Bakar Premium" (Abdul Azis Jaziri dari Jurusan Perikanan di Universitas Brawijaya Malang), "Diversifikasi Dioscorea Flour sebagai Sumber Alternatif Pangan" (Zainal Arifin dari Jurusan Biologi ITS Surabaya), kemudian "Pemanfaatan buah dan daun cersen/talok sebagai keripik dan dodol" (Ria Hayati dari Jurusan Biologi ITS Surabaya).

Tidak berbeda dengan Sulfahri, Zaenal Arifin juga mencoba membuat diversifikasi pangan dari bahan umbi uwi.

"Umbi yang bernama latin dioscorea alata itu ternyata dapat menjadi bahan pangan yang aman bagi penderita diabetes. Kadar gula uwi itu rendah, tapi karbohidratnya tinggi," kata mahasiswa jurusan Biologi ITS itu.

Pengolahan uwi menjadi tepung itu pun tidak memerlukan proses yang rumit, bahkan cukup menggunakan metode tradisional.

"Saya buat dari dua macam uwi, uwi putih dan juga uwi ungu yang sama-sama berkadar gula rendah. Uwi diparut kasar, kemudian direndam dengan air kapur untuk memisahkan parutan dengan getahnya. Air getah uwi itu bisa untuk pestisida yang ramah lingkungan," ucapnya.

Parutan yang sudah dikeringkan, katanya, dapat langsung diolah menjadi tepung. "Tepung dari uwi ini dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai macam penganan, seperti kue dan mie. Rasa tepungnya sendiri tawar, jadi gampang divariasikan," katanya.

Tidak hanya produk pangan, duo mahasiswa Teknik Kimia ITS Surabaya juga mengusung karya yang diberi nama WEL-T (Water Electric Light-Trap).

Jebakan untuk serangga di sawah itu hanya memerlukan waktu penggarapan satu minggu saja. "Ide awalnya dari raket nyamuk," papar Achmad Ferdiansyah, didampingi rekannya, Resti Afiandinie.

Metode raket nyamuk itu digabungkan dengan alat tradisional untuk penangkap laron. Masyarakat sering menggunakan lampu minyak dan baskom air untuk menangkap serangga.

"Metode itu membahayakan dan juga kurang praktis, karena itu kami menggunakan lampu bersinar ungu sebagai pemikat serangganya. Pancaran panjang gelombang lampu ungu paling pendek, sehingga memikat mata serangga. Begitu terpikat cahaya, serangga akan terkena sengat dari kawat-kawat listrik itu dan akhirnya jatuh ke dalam bak air," katanya.

Menurut dia, WEL-T itu efektif untuk hama sundep. Di kalangan petani, hama sundep sangat merugikan karena proses reproduksinya sangat cepat dan menyerang tanaman padi.

"Pancaran sinar ungu itu beradius 800 meter, sehingga untuk lahan sawah seluas satu hektar membutuhkan 12 buah WEL-T, tapi jika dibanding dengan pestisida masih lebih hemat Rp300 ribu-a, karena biaya pembuatan hanya Rp190 ribu, apalagi WEL-T lebih ramah lingkungan," katanya.

Bukan hanya menarik dan murah, pameran produk inovatif mahasiswa se-Jatim itu juga akan mengangkat citra Indonesia, karena sebagian dari delapan karya inovatif yang terpilih akan mewakili Indonesia dalam entrepenuership di Jepang. (AntaraNews)

Mendiknas Jamin Kesiapan Pelaksanaan UN

JAKARTA, SENIN - Pelaksanaan ujian nasional atau UN tahun 2008 siap digelar. Pemerintah menjamin kesiapan pelaksanaan UN untuk tingkat SMA sederajat tanggal 22-24 April. "Saya sudah mendapat laporan semua persiapan UN dari pusat sampai di sekolah sudah siap. Pengawasan juga sudah dilaksanakan sehingga semaksimal mungkin diupayakan tidak ada kebocoran soal," kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo di Jakarta, Senin (21/4).

Mendiknas mengimbau semua pihak, baik pemerintah daerah, sekolah guru, dan siswa mengutamakan kejujuran dalam melaksanakan UN. Pemerintah sendiri tidak menargetkan tingkat kelulusan karena yang diutamakan adalah kejujuran dalam ujian ini.

"Yang melakukan kecurangan akan ditindak secara pidana. Saya juga akan melaporkan pemberitaan kecurangan yang tidak berdasar sebab akan merusak kredibilitas UN dan pemerintah," kata Bambang.(Ester Lince Napitupulu,Kompas).

Ibu Bumi Kian Renta

Oleh Maria D. Andriana

Jakarta (simbontarnews) - Bumi sering disebut sebagai ibu, induk segala kehidupan.

Dalam mitologi suku-suku bangsa, bumi banyak dipersonifikasikan sebagai perempuan, lambang kesuburan karena keberadaannya yang memberi tempat tinggal dan menyediakan makanan bagi mahluk hidup.

Maka dalam memperingati Hari Bumi 22 April, tak lepas dari peran planet ke lima terbesar dalam urutan sembilan planet tata surya itu sebagai sumber pangan bagi mahluk hidup penghuninya, khususnya manusia.

Berbicara tentang ketahanan pangan Dr Listyani Wijayanti, Staf Ahli Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bidang Teknologi Pangan dan Kesehatan, mengemukakan ada tiga aspek yang harus diperhitungkan yaitu ketersediaan, distribusi, dan akses.

Meskipun bumi cukup subur untuk menghidupi "anak-anak"nya, manusia harus mampu bertindak bijaksana dan mengolah sumber daya alam guna menjamin ketersediaan pangan.

Listyani Wijayanti menyebutkan, kegiatan pembangunan harus senantiasa memperhatikan kepentingan produksi pangan, dalam arti tidak mengusik lahan subur pertanian untuk dipergunakan kepentingan lain, misalnya sebagai areal pembangunan gedung.

"Jika peruntukan lahan pertanian diabaikan, maka dampaknya akan mempengaruhi produksi pangan," katanya.

Bumi yang mempunyai diameter 12,756 kilometer (km) itu adalah sumber pangan, energi, dan air, yang harus dimanfaatkan secara bijak, dipergunakan degan tepat dan seperlunya guna mencapai hasil yang optimal dan terjaga kelestariannya, tegasnya.

Menurut dia, kegiatan pertanian juga mesti dijalankan dengan menggunakan bahan-bahan yang ramah alam, misalnya pupuk organik dan pestisida yang tidak merusak ekosistem.

Tetumbuhan di bumi bahkan juga disebutnya sebagai sumber obat alami yang selama ini belum maksimal diolah dan dimanfaatkan.

Indonesia khususnya mempunyai kekayaan sumber alam dan kebudayaan mengolah jamu (ramuan obat dari tetumbuhan).

"Menyayangi bumi juga dapat diwujudkan dengan mengolahnya, misalnya menghidupkan kembali kebiasaan menanam obat keluarga dalam program TOGA," kata Listyani. TOGA yang dimaksudnya adalah akronim dari Tanaman Obat Keluarga.

Menristek Kusmayanto Kadiman, menurut dia, selama ini juga gencar melakukan penanaman aneka pohon langka dalam beberapa kesempatan selain juga mempromosikan penggunaan jamu dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat bisa ikut membudidayakan tanaman yang berkhasiat sebagai jamu, bahkan seandainya tidak memiliki lahan bisa dimulai dengan memakai pot-pot untuk menanam.

Hasil TOGA selain dapat dimanfaatkan untuk keperluan sendiri, bila ditanam dalam jumlah lumayan banyak bisa dimanfaatka untuk industri kecil yang menggunakan bahan baku tanaman obat, kata Listyani.

Untuk menjaga sang Ibu Pertiwi, dapat dilakukan dengan menjaga keseimbangan supaya bumi menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk ditinggali, katanya.

Elshinta S. Marsden, Head of Communications and Outreach World Wild-Life Fund for Nature (WWF) Indonesia, mengajak masyarakat mencintai bumi dengan memperlakukan alam secara seimbang.

"Hindari perilaku konsumtif , bergaya hidup `hijau` dan tularkan gaya hidup itu pada anggota keluarga dan teman-teman," kata Elshinta.

"Prihatinlah `ibu` tidak semuda dulu," kata Elshinta, juga menggunakan personifikasi ibunda bagi bumi.

Dibandingkan dengan seluruh planet dalam tata surya, bumi adalah satu-satunya yang tidak menyandang nama dari mitologi Yunani atau Roma. Nama Earth diambil dari bahasa Inggris kuno dan Jerman.

Dalam mitologi Roma, Dewi Bumi disebut Tellus sedangkan mitologi Yunani menyebutnya sebagai dewi kesuburan, Gaia, ibu bumi.

Bangsa Indonesia menyebut bumi sebagai Ibu Pertiwi, bunda yang menaungi hidup segala mahluk di dalamnya, sedangkan di Jawa dilambangkan sebagai Dewi Sri, lambang kesuburan.

Beberapa suku di Indonesia juga menempatkan bumi sebagai Dewi kesuburan dan ibu sementara langit adalah personifikasi laki-laki, dewa penguasa hidup di alam semesta.

Manusia sebagai penghuni bumi konon baru pada abad 16 menyadari bahwa tanah yang dipijaknya adalah juga planet seperti matahari, bulan, merkurius, saturnus. Peta bumi secara utuh juga baru berhasil diciptakan pada abad 20.

Planet bumi dikelilingi atmosfir, yang mengandung oksigen, nitrogen, juga terdapat lautan dan cairan di permukaan dan di perut bumi, lapisan padat berupa tanah dan bahan mineral seperti besi, nikel, magnesium, silikon, belerang, titanium.

Bumi adalah planet yang memiliki kepadatan paling tinggi dibanding delapan planet lain.

Umur bumi diperkirakan 4,5 miliar hingga 4,6 miliar tahun, tetapi permukaannya masih muda, yakni sekira 500 juta tahun. Kemudaan ini diduga lantaran permukaan bumi yang terus-menerus tergerus erosi dan proses gempa yang membuatnya seperti terkelupas dan memiliki kulit baru.

Keadaan itu juga menyebabkan terhapusnya jejak-jejak fenomena alam yang terjadi di permukaan bumi. Fosil organisme tertua yang ditemukan di bumi berumur 3,9 miliar tahun.

Peringatan Hari Bumi setiap 22 April dimulai di Amerika Serikat (AS) pada 1970 oleh penggagasnya, Senator Gaylord Nelson, yang gigih memperjuangkan kelestarian alam pada 1960-an.

Senator Nelson yang meninggal pada usia 89 pada 2005, yang yakin bahwa melalui pendidikan, maka orang dapat mengubah gaya hidup yang ramah lingkungan.

Memperjuangkan isu lingkungan pada masa itu adalah hal yang tidak populer, terutama ketika masalah politik sedang hangat-hangatnya diperbincangkan di AS, terutama pada masa-masa kampanye dan pemerintahan Presiden John F. Kennedy, disusul isu anti perang Vietnam.

Tetapi, kegigihan senator Nelson membuahkan hasil karena ia mendapat dukungan dari jutaan rakyat jelata dan mahasiswa yang peduli pada lingkungan dan kelestarian bumi.

Presiden Bill Clinton menganugerahkan "Medal of Freedom" bagi Gaylord Nelson pada 29 September 1995 atas jasanya sebagai Bapak Hari Bumi, atau seperempat abad setelah Hari Bumi itu diperingati setiap tahun.

Kini, di tengah keprihatinan akan keselamatan bumi yang terancam pemanasan global, perubahan cuaca, kerusakan alam dan keterbatasan pangan, Hari Bumi diperingati dengan berbagai cara oleh kelompok-kelompok yang peduli dengan tema "call for climate" untuk bumi yang semakin renta. (Antaranews)

Senin, 21 April 2008

Kebohongan Dibalik Sistem Pendidikan Nasional

simbontarnews, 22/04/08
Saatnya dunia pendidikan Indonesia dievaluasi. Pada hari ini (22/04/08), Ujian Nasional (UN) tingkat SMA diselenggaran di seluruh penjuru negeri Indonesia. Dengan diberlakukannya sistem baru dalam dunia pendidikan setelah 6 tahun, yaitu mulai tahun 2003 sampai saat ini. Standar kelulusan yang diterapkan dengan standarisasi nilai Ujian Akhir Nasional di tingkat Sekolah Lanjuatan, yaitu SMA dan SMP. Standar nilai yang dipakai berurut mulai tahun 2003 adalah 3,00; 4,00; 4,25; 4,50; 5,00; 5,25. Dapat kita lihat bahwa standar nilai kelulusan sekolah lanjutan dinaikkan setiap tahun. Yang pada akhirnya negara kita (Republik Indonesia tercinta) harus memiliki standar yang sama dengan negara-negara maju di dunia ini.

Sungguh cita-cita yang sangat cemerlang untuk sebuah negara yang ingin bangkit dan lari dari ketertinggalan. Suatu hasil pemikiran yang sungguh keras dari para pemikir bangsa ini. Mungkin sudah menjadi tradisi (kebudayaan kali ya) dari bangsa ini yang selalu penuh dengan gebrakan-gebrakan baru (atau hanya sekedar sensasi?). Disetiap ada pergantian pemimpin maka diapun hadir dengan visi dan misi yang signifikan perbedaanya dari sistem yang lama. Hadir dengan perubahan-perubahan yang berusaha membedakan pemimpin yang lama dengan yang baru. Minimalnya yang sering kita lihat adalah perubahan nama-nama dari instansi pemerintah yang tentunya itu akan memakan banyak anggaran. Pada kenyataanya, banyak diantara gebrakan baru itu yang tidak memiliki perubahan (perbedaan) hasil yang signifikan. Yang pada kenyataanya sebuah sistem yang sudah ditetapkan memang mau tidak mau harus kita laksanakan.

Mari kita mengulas sedikit mengenai sistem pendidikan yang diterapkan di bangsa ini, yaitu sistem dengan standarisasi nilai hasil Ujian Nasional (UN). Masalahnya sekarang, apakah sistem ini sudah tepat penerapannya pada saat ini? Disaat semua sektor kehidupan negara ini mengalami keterpurukan? Dengan belum terlaksananya pemerataan pendidikan di negeri ini? Dengan masih begitu banyaknya rakyat Indonesia yang untuk bertahan hidup saja sudah susah?

Bangsa ini telah diajar untuk berbohong. Sungguh sangat ironis, ketika suatu kebijakan pemerintah akan menjadi pembodohan bangsa. Saya menuliskan hal ini bukan sekedar bercerita, tetapi kenyataan yang langsung saya alami dan rasakan. Bahwa pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dulunya masih bernama Ujian Akhir Nasional (UAN), itu dengan sangat terpaksa harus dilaksanakan dengan penuh kebohongan dan kecurangan. Dimana kami pada waktu itu (tahun 2004), secara terang-terangan dibantu oleh pihak sekolah. Terbukti memang hanya segelintir persen siswa yang tidak lulus saat itu. Dan data yang saya peroleh pada tahun kelulusan 2007, hampir 100 % siswa tingkat SMA lulus dari kabupaten asal saya tadi.

Kenapa harus seperti itu? Pertanyaan yang memiliki jawaban yang singkat dan gampang, yaitu suatu sekolah atau instansi pendidikan manapun tidak ingin pamor dan nama sekolahnya turun, bahkan buruk. Ini juga termasuk menyangkut nama baik daerah tersebut. Artinya pada kenyataannya pemerintah daerah tersebut mengetahui akan ketidak-jujuran dan kebohongan tersebut, tetapi apa boleh buat sistem yang memaksa bukan?

Semua itu terjadi karena memang belum siapnya secara keseluruhan generasi pendidikan ini untuk melakukan ini. Tentunya bukan yang dikehendaki, tetapi karena belum adanya pembenahan yang seharusnya merata. Pemerintah membuat evalusi dengan standarisasi di tingkat 7, padahal pembenahan (materi) pendidikan itu masih pada tahapan tingkat 3. Siapa yang salah? Mari kita tanyakan pada ibu pertiwi kita!

Selamat berjuang generasi Indonesiaku. . . . .